Persiapan desa dalam menjemput dana
desa baru
Di
berbagai desa saat ini ramai berbincang soal pencaiaran dana desa. Dimana, berawal
dari kebijakan yang baru dari Mendes PDTT
yang sebelumnya dari tiga tahap menjadi dua tahap di tahun 2016 ini.
Sehingga, inilah sebuah awal yang menjadi polemik kontestan di kalangan pedesaan
nusantara. Tidak lepas soal itu, Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) bersibuk melaksanakan musyawarah
desa (Musdes)
dalam target perencananaan realisasi anggaran dana desa. Semuanya ini, tidak
lepas soal kesejahteraan financial pedesaan dalam membantu perekenomian masyarakat
desa dalam skala pembangunan, pengembangan potensi desa maupun dalam
pengembangan diri. Maka dari itu, pemdes mementingkan tugas untuk melaksanakan Kebijakan
Baru dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes). Agar
mengantisipasi dan menghindari beberapa kendala pada tahap realisasi anggaran.
Kebijakan Mendes PDTT
Terkait
kebijakan dari Menteri Desa, Pembangunan Desa Tertinggal (PDT) dan Transmigrasi
Marwan Jafar dalam wacananya diantara ratusan kepala desa di tangerang pada
awal ferbruari lalu. Ia mengulas tentang aturan Pencairan dana desa di tahun
2016 akan berbedah dengan tahun sebelumnya dimana, proses percaiaran DD
sebelumnya melalui tiga tahap sehingga, mengakibatkan kinerja kepala desa serta
perangakat desa telah menjadi kendala dalam pembuat kebijakan serta laporan
kebijakan begitu pula dalam pelaksanan pembangunan yang bermodel pincang
(setengah berjalan). Maka untuk mengantisipasi itu, Mendes PDTT melakukan
strategi baru dalam pencairan DD sehingga dapat menghasil kinerja yang efisien dan
pelaksanan pembangunan akan tepat sasaran dengan melalui pencairan DD perdua
tahap sehingga, dapat mempermudah kinerja Pemdes dalam mewujudkan pembangunan yang efektif serta berguna dan bermanfaat bagi
masyarakat desa di pelosok nusantara. Maka untuk mendukung wacan ini, Mendes
PDTT membuat Permendes no 21 tahun 2015
tentang penetapan prioritas penggunaan Dana Desa tahun 2016. Dimana isi
penting didalamnya adalah: skala pembangunan, pembentukan rencana kebijakan
serta pemberdayaan masyarakat desa dengan penggunaan DD yang berguna untuk
skala desa.
pembentukan
kewenangan dalam sitem pemerintahan desa. Seperti: kepala desa serta perangkat
desa adalah badan eksekutif sedangkan
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai badan legislative.
Dengan
demikian, alokasi dana desa sudah di depan mata. diuatamakan pesiapaan kinerja
pemdes dalam kensep pembangunan membaik serta kebijakan beroptimal yang efektif.
Sehingga, tidak mempunyai kendala yang bersifat teknis dalam konesep
pembangunan yang baiki dalam kinerja. Namun, ketika semuanya akan penyelewangan
dengan tujuan pembangunan desa. Sehingga pembangunan desapun bukan pelaksanan
yang tepat sasaran. Melainkan hanya menguntungkan beberapa pihak. Dan akan
rancu semisalkan berbanding dengan tujuan UU Desa sudah jelas tertera bahwa,
desa mempunyai otoritas untuk mandiri,mengelolah dan di manfaatkan untuk
kehidupan sendiri. Karena Negara hanya memberikan bekal kepada masyarakat desa
(top down) tetapi, bukan mempunyai power yang adi membangun pembangunan desa. Melainkan
desa sendiri yang mempunyai daya juang untuk membangun kepribadian, membangun
lingkungan serta kearifan local yang di wariskan dan tetap di pertahankan
(bottom up). Semisalkan alur pemikiran pemdes hanya menunggu kapan akan pengjadwalan
pencaiaran dana desa tanpa harus berusaha dan mengintropeksi diri sebelum
menjemput hari tersebut. Sedangkan kendala-kendala dalam diri mereka masih
banyak yang belum transpransikan, yaitu:
beberapa kendala internal pemdes dan BPD yang sering kita jumpai di tempat
penelitian maupun Kuliah Kerja Nyata di desa yaitu: pertama: kemapanan atau sumber daya manusia yang rendah dari pemdes maupun anggota BPD untuk merancang
suatu kebijakan baru dalam proses pembangunan dan kebijakan. Membutuhkan waktu
yang sangat lama sehingga, pelaksanaan kebijakan masih belum stabil. Kedua: keahlian khusus di bidangnya
minim ketiga:
nepotisme
yang kuat antara pemdes dan BPD. Maka, lemahnya controlling dari BPD terhadap
kepala desa beserta perangakatnya. Sedangkan, kewenangan BPD adalah sebagai
representatif dari masyarakat desa bukan dari kepala desa atau pemdes. Semuanya
itu, akan bertujuan arah pada lingkup hubungan politik dinasti pedesaan. keempat: rendahnya pengetahuan tentang
UU Desa. Ketika semua kendala
internal ini, beberapa cara yang harus di perbaiki adalah: pertama harus di regulasi adalah kinerja di pemdes yang benar orang
professional serta menghindari dari nepostisme yang ada. Kedua pendamping desa, harus
benar-benar berkompeten dan mampu mengabdi di bidang tersebut. Sehingga secara
psikologis pedamping desa mampu menyadari masyarakat, BPD hingga pemerintah
desa dengan kemapuan yang dimilikinya. Ketika
semuanya berjalan dengan baik maka, akan mewujudkan
kemajuan desa dalam segi pembangunan, bermandiri, kesejahateraan dan tidak ada
lagi kemiskinan pada masyarakat marginal pedesaan.
penulis:
Mahasiswa
ilmu pemerintahan STPMD “APMD”
Yogyakarta
saya mengaharapkan komentarnya....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar